Apa saja pelajaran yang bisa diambil dari dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Thaif?
Pelajaran #01
Telah kita saksikan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Thaif, beliau memulai berdakwah kepada para pembesar Thaif. Hal ini memberi pelajaran bahwa seorang dai hendaknya memulai dakwahnya dengan kepala rumah tangga di tingkat keluarga, sebab seorang ayah memiliki pengaruh di dalam rumah tangganya. Jika dai berada di sebuah wilayah atau pedesaan, hendaknya ia menghargai posisi kepala wilayah tersebut dengan pertama kali berkunjung kepadanya, atau bahkan sangat dianjurkan kalau ia meminta izin kepadanya untuk berdakwah di wilayahnya.
Dai yang tidak mampu membedakan antara yang kecil dan yang besar, dan antara tokoh dan orang biasa, ia akan sering mendapatkan kesalahan dalam dakwahnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya di Thaif dengan mendatangi para pemuka kaum, dan ketika mereka tidak menerima dakwah beliau, beliau pun pulang dan meninggalkan mereka.
Pelajaran #02
Kita juga memperhatikan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa bahwa para tokoh itu tidak mau menerima dakwah beliau, maka beliau pun meminta kepada mereka agar merahasiakan kedatangan beliau kepada mereka. Ini mengajarkan kepada kita bahwa termasuk sikap yang bijaksana adalah ketika seseorang tidak mengatakan apa saja yang ia ketahui, tetapi hendaknya ada perkara-perkara tertentu yang harus ia rahasiakan dan tidak menyebarkannya kepada orang lain karena berbahaya. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اسْتَعِينُوا عَلَى إِنْجَاحِ الْحَوَائِجِ بِالْكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُودٌ
“Mintalah pertolongan (berupayalah) untuk mencapai keinginan-keinginan itu dengan merahasiakannya, sebab setiap orang yang mendapatkan kenikmatan itu ada yang dengki kepadanya.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 20:94. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1453 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya meminta agar para pembesar Thaif itu merahasiakan perlakuan buruk mereka kepada beliau. Karena hal tersebut akan menambah senangnya musuh-musuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah.
Dari sini juga, kita dapat ambil pelajaran bahwa tidak semua yang kita dengar perlu kita sebar. Dari Hafsh bin ‘Ashim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim, no. 5). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits di atas pada Shahih Muslim dalam judul Bab “Larangan membicarakan semua yang didengar.”
Pelajaran #03
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas keluar dari Thaif dan orang-orang bodoh Thaif melempari beliau dengan batu, maka Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memasang badan untuk melindungi beliau, maka Zaid pun banyak terkena lemparan batu sehingga tubuhnya banyak yang terluka.
Ketika Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu memasang badannya untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seharusnya kita pada hari ini, melindungi ajaran beliau dengan menjaganya. Kalau Zaid pada saat itu membela beliau, seharusnya kita saat ini membela sunnah (ajaran) beliau. Membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diwujudkan dengan mengamalkannya dan memeliharanya serta sungguh-sungguh untuk meneladani perilaku beliau dan menghidupkan sunnah beliau dalam segala aspek kehidupan kita, kembali kepada ajaran beliau dan berhukum dengannya, dan meninggalkan bid’ah yang tidak termasuk dalam ajaran beliau.
Di antara bentuk membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِۖوَاتَّقُوا اللَّهَۚإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
Pelajaran #04
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Thaif dan beliau mendapatkan kesulitan dan kepayahan yang luar biasa, maka beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada Rabbnya, sebagaimana yang tersebut dalam banyak kitab sirah. Sikap mengadu kepada Allah di sini bukanlah menunjukkan sikap tidak sabar. Sebab sikap seorang muslim yang benar adalah bersabar atas segala yang dihadapi sambil mengangkat kedua tangannya untuk mengharapkan solusi dan jalan keluar dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Pelajaran #05
Dianjurkan mengangkat tangan saat berdoa. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa-apa.” (HR. Tirmidzi, no. 3556. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Pelajaran #06
Dalam kasus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari kedua putra Rabi’ah yaitu Syaibah dan Utbah, yang mengirimkan setangkai buah anggur, kita mendapatkan pelajaran darinya bahwa boleh kita menerima hadiah dari orang kafir dan menggunakannya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memakan buah anggur yang dikirim oleh orang kafir kepada beliau. Dan secara umum masih boleh bermuamalah untuk urusan dunia dengan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Masih berlanjut pelajaran lainnya insya Allah. Semoga bermanfaat.
Referensi:
- Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
- Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Diselesaikan di #darushsholihin, 8 Rajab 1440 H (15 Maret 2019)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com